Kamis, 15 September 2011

Tahta Pilihan Rakyat

Sebetulnya,diskursus politik ini sebelumnya memang pernah digulirkan dilingkungan kementerian Dalam Negeri dengan alasan umpamanya pilkada langsung dianggap cukup rawan terjadinya kericuhan /perilaku politik anarkis serta memerlukan biaya politik yang tinggi .Meskipun begitu,sudah barang tentu merupakan sesuatu yang sifatnya naïf dan prematur untuk memberikan justifikasi bagi perubahan politik dari model pemilihan langsung yang melibatkan rakyat ke tipe pemilihan lewat perwakilan.Masalahnya,substansi persoalannnya tidaklah sesederhana itu.Sebab fakta dilapangan juga menunjukkan kalau pilkada melalui perwakilan  seringkali melahirkan kepala daerah yang tidak sesuai dengan aspirasi serta keinginan rakyat.Padahal,justru praktik demokrasi yang kita inginkan tidak hanya sebatas yang bersifat prosedural semata dalam artian mengikuti alur yang bercorak formalitas belaka melainkan yang jauh lebih penting dari itu adalah perlunya implementasi sebuah demokrasi substansial dan ini dapat dilakukan dengan cara melibatkan langsung rakyat dalam proses politik sehingga kepala daerah yang terpilih jelas memperoleh legitimasi politik yang jauh lebih kuat dari rakyat ketimbang mereka yang dipilih oleh wakil rakyat.Selain itu,semakin meluasnya partisipasi politik langsung dari rakyat tentu dengan sendirinya akan memberi akses yang lebih terbuka bagi rakyat untuk merealisasikan hak politiknya.Dampaknya kemudian adalah bahwa sosok kepala daerah yang terpilih diharapkan memiliki akuntabilitas,kapabilitas.cukup handal ,responsif,punya integritas dan komitmen moral yang kuat  bagi pemenuhan kepentingan rakyat.Untuk contoh sederhana,kita simak saja umpamanya bagaimana model kepemimpinan yang ditampilkan oleh pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang (Pasangan yang dipilih lewat pilkada langsung) yang hingga kini telah banyak dinilai orang sudah menciptakan suatu perubahan kearah yang lebih baik dalam mengelola pemerintahan daerah.                    

Selain itu,dilihat dari aspek normatifnya masalah pilkada langsung  dengan tegas sudah diatur pula dalam pasal 24 ayat (5) UU.No.32/ 2004 tentang pemerintahan daerah yang menjelaskan bahwa pilkada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat didaerah yang bersangkutan baik itu untuk calon kepala/wakil kepala daerah yang diusulkan  parpol/gabungan parpol maupun lewat pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang sebagaimana dijelaskan didalam pasal 59 ayat (1) huruf b Undang-Undang No.12/2008 yang merupakan revisi kedua atas UU.No.32/2004 tentang pemerintahan daerah.Disamping itu,tentu saja awal munculnya keinginan kuat untuk melibatkan langsung rakyat dalam proses pilkada tidak lepas dari euphoria reformasi  politik yang menginginkan agar supaya rakyat diberi otonomi yang lebih luas dan mandat penuh dalam menyampaikan aspirasinya.   

Dengan demikian,pemberdayaan politik rakyat yang menjadi salah satu instrumen bagi terlaksananya proses demokratisasi politik bisa terpenuhi.Menurut pendapat pakar ilmu politik Samuel P Huntington misalnya,dalam bukunya No Easy Choice:Political Participation In Developing Countries (1976) bahwa salah satu ciri tipe partisipasi politik otonom diantaranya dengan cara mengembangkan inisiatif mandiri dari rakyat untuk berpartisipasi dalam politik dan pemerintahan yang mana pengembangan partisipasi politik model ini biasanya dilakukan dalam masyarakat yang memiliki tingkat pengetahuan,kesadaran,kematangan serta kecerdasan politik yang cukup tinggi.Oleh sebab itu,untuk menjaring kepala daerah yang memiliki posisi yang kuat serta mendapat dukungan dan kepercayaan yang luas dari rakyat,maka model pemilihan yang melibatkan langsung rakyat dinilai lebih obyektif dan tepat dibanding dengan tipe pemilihan melalui proses perwakilan.Lalu,kalau seandainya terdapat beberapa kelemahan disana sini,maka yang sebaiknya perlu ditata adalah teknis pelaksanaannya sehingga proses pemilihannya dapat berlangsung dalam suasana yang aman,tertib,lancar,jujur,bebas,rahasia dan langsung melibatkan rakyat.Apalagi,kalau kita belajar dari pengalaman mulai dari pemilihan Presiden,Anggota DPR,DPRD,DPD sampai Kepala Desa yang mana mekanisme pemilihan yang digunakan untuk mengisi jabatan (tahta) tersebut juga sifatnya langsung  melibatkan  rakyat.

Memang proses pemilihan pejabat publik tidak harus diinterpretasikan sebagai satu-satunya ajang untuk mereguk kekuasaan.Pasalnya,menang kalah dalam suatu pemilihan merupakan hal yang biasa,soalnya yang lebih penting dari itu adalah bagaimana menegakkan kedaulatan rakyat.Dan ini hanya bisa terealisasi apabila rakyat diberi ruang politik yang lebih terbuka dalam mengespresikan hak politiknya.Terlebih lagi,proses politik seperti pilkada berfungsi sebagai media yang mengajarkan rakyat untuk berpolitik dan sekaligus menjadi alat tawar menawar rakyat bagi elite politik dalam meningkatkan kesejahteraan,kemakmuran serta membangun kesetaraan dalam semua aspek kehidupan sosial.Hanya saja, ironisnya dalam aktualitas nya tak sedikit diantara elite politik yang ikut berkompetesi akan menghalalkan segala cara yang tidak fair,curang dan manipulatif termasuk didalamnya maraknya praktik politik uang,jual beli suara dan penggelembungan suara.       

Oleh: Andi Haris (Dosen Sosiologi Politik Universitas Hasanuddin)
Wacana


dikirim oleh :Andi Zulfikar,
Mare' Kabupaten Bone Sulsel


0 komentar:

Posting Komentar